Minimnya Revitalisasi Sekolah di Banda Aceh, Legislator Dorong Penataan Ulang DAK
Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi X foto bersama dengan Rektor Universitas Syiah Kuala Marwan, serta Dirjen Dikti Kemendiktisaintek dan para civitias akademika di Universitas Syiah Kuala, Aceh, Jumat (25/07/2025). Foto: Munchen/vel
PARLEMENTARIA, Banda Aceh — Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa menyoroti persoalan ketimpangan dalam revitalisasi sekolah saat melakukan kunjungan kerja reses Komisi X DPR RI di Banda Aceh, Aceh. Ledia menyampaikan bahwa meskipun Banda Aceh memiliki potensi besar sebagai kota di ujung barat Indonesia, daerah ini masih menghadapi keterbatasan dalam pembenahan infrastruktur pendidikan.
"Kalau kita lihat sesungguhnya, Banda Aceh ini menjadi satu kota di ujung barat Indonesia yang potensial untuk berkembangnya banyak. Tetapi juga punya sejumlah persoalan, misalnya ketika kita bicara tentang revitalisasi sekolah. Ternyata revitalisasi sekolah yang didapat oleh Banda Aceh itu hanya 6 SD dan 1 SMP, kebutuhannya lebih banyak," kata Ledia kepada Parlementaria usai pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi X di Universitas Syiah Kuala, Aceh, Jumat (25/7/2025).
Ia menekankan bahwa persoalan tersebut tidak hanya terjadi di Banda Aceh, melainkan juga di sejumlah daerah lainnya. Oleh karena itu, perlu ada penataan ulang terhadap skema Dana Alokasi Khusus (DAK) agar distribusi anggaran revitalisasi sekolah lebih merata dan tepat sasaran.
Lebih lanjut, Ledia mengingatkan pentingnya pemetaan yang akurat oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Pemetaan ini harus dapat mengidentifikasi kondisi bangunan sekolah, mulai dari rusak ringan hingga yang benar-benar memerlukan revitalisasi menyeluruh.
"Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah-nya harus punya peta yang menentukan dari rusak ringan, hingga yang harus direvitalisasi. Katakanlah kebutuhan-kebutuhan itu ada, karena semua sudah masuk ke data pendidikan dan terbatas dalam jumlah uang. Maka ini harus dikejar," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pada tahun 2018, Komisi X DPR RI telah menghasilkan laporan dari Panitia Kerja (Panja) Sarana dan Prasarana Pendidikan yang menyebutkan adanya 1,4 juta ruang kelas dalam kondisi rusak, baik ringan, sedang, maupun berat. Namun hingga saat ini, persoalan tersebut belum terselesaikan secara tuntas.
Ledia menyoroti kebijakan pada periode 2019–2024, di mana penanganan fisik sekolah dialihkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menurutnya, langkah tersebut berdampak pada ketidaksinambungan antara desain fisik yang dibangun dengan kebutuhan nyata di lingkungan pendidikan.
"Konsep dan desainnya tidak sejalan dengan kebutuhannya di Kementerian Pendidikan pada saat itu. Nah dengan demikian, kita sekarang harus menata lagi nih. Kalau data yang kemarin 1.400.000 itu, sebenarnya sudah selesai apa belum sih? Berapa banyak yang masih tersisa? Dengan begitu nanti prosentasenya akan diperbanyak," tutupnya. (mun/aha)